Pertanyaan Dari:
Hamba Allah, di Jawa Tengah, nama dan alamat diketahui redaksi
(Disidangkan pada hari Jum’at, 20 Syakban 1432 H / 22 Juli
2011 M)
Pertanyaan:
Assalaamu'alaikum wr.wb.
Saya seorang hamba Allah di bumi Allah
ingin menanyakan kasus berikut: Ada seorang laki-laki Muslim berbuat
zina dengan seorang wanita Katolik sehingga hamil sekian bulan, lalu ia ingin
bertanggungjawab dengan menikahinya dengan kondisi berikut:
1. Wanita Katolik tesebut menginginkan menikah di gereja dengan
cara Katolik kemudian setelahnya menikah secara Islam, kemudian catatan negara
dilakukan dengan administrasi Katolik, sedangkan secara Islam tanpa catatan.
2. Kemudian keduanya setelah itu hidup berkeluarga dalam keadaan
berbeda agama. Dalam hal ini pihak laki-laki istilahnya terpojokkan karena
sudah menghamili sehingga HARUS menikahi dengan cara tersebut, dengan tetap
pada keyakinan masing-masing.
Dalam prosesnya, orang tua (bapak) dari
laki-laki itu sudah mengusahakan dengan semaksimal mungkin untuk menikah dengan
cara Islam tanpa syarat, wanita tersebut harus masuk Islam
dulu. Namun dari pihak wanita (keluarganya) tetap tidak menyetujui. Kemudian
akhirnya, dengan berbagai pertimbangan orang tua ini menyetujui prosesi
tersebut. Dan untuk proses bertaubat, mau diarahkan untuk kembali ke jalan yang
benar. Laki-laki tadi juga akan menyeru istrinya untuk masuk Islam. Proses
tersebut belum terjadi dan masih menunggu hari H.
Pertanyaan:
1. Bagaimana hukumnya yang sesuai syariat Islam untuk kasus di
atas?
2. Bagaimana status anak yang sudah dikandung ini dan apabila
terlahir?
3. Bagaimana hukum dari tindakan orang tua dari laki-laki ini?
4. Bagaimana sikap saya (sebagai saudara sepupu) jika nanti
proses itu terjadi? Tentang menghadiri pestanya? Karena dalam benak saya saat
ini, haram untuk menghadiri yang seperti itu.
Mohon penjelasan dengan sangat detail,
mengingat saya masih awam. Terima kasih sebelumnya.
Wassalamu alaikum wr. wb.
Jawaban:
Wa 'alaikumus-salam wr. wb.
Saudara hamba Allah dari Jawa Tengah
yang baik, berikut ini jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saudara:
1. Hukum nikah beda agama menurut syariat Islam itu sudah kami
terangkan beberapa kali dalam rubrik tanya jawab agama ini, bahkan telah pula
menjadi keputusan Muktamar Tarjih ke-22 tahun 1989 di Malang Jawa Timur.
Kesimpulannya, para ulama sepakat bahwa seorang wanita Muslimah haram menikah
dengan selain laki-laki Muslim. Ulama juga sepakat bahwa laki-laki Muslim haram menikah dengan
wanita musyrikah (seperti Budha, Hindu, Konghuchu dan lainnya). Dalilnya firman
Allah:
“Dan janganlah kamu menikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang
mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah
kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak
ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” [QS. al-Baqarah (2): 221]
Yang diperselisihkan para ulama ialah:
Bolehkah laki-laki Muslim menikah dengan wanita Ahlul Kitab (yaitu Yahudi dan
Nasrani: Katolik/Protestan)? Ada yang mengatakan boleh, dengan bersandarkan
kepada firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 5. Ada pula yang mengatakan tidak boleh. Namun demikian kami telah mentarjihkan/menguatkan pendapat yang mengatakan
tidak boleh dengan beberapa alasan, antara lain:
a. Ahlul Kitab yang ada sekarang tidak sama dengan Ahlul Kitab
yang ada pada waktu zaman Nabi SAW. Semua Ahlul Kitab zaman sekarang sudah
jelas-jelas musyrik atau menyekutukan Allah dengan mengatakan bahwa Uzair itu
anak Allah (menurut Yahudi) dan Isa itu anak Allah (menurut Nasrani).
b. Pernikahan beda agama dipastikan tidak akan mungkin mewujudkan
keluarga sakinah sebagai tujuan utama dilaksanakannya pernikahan.
c. Insya Allah umat Islam tidak kekurangan wanita Muslimah,
bahkan realitasnya jumlah kaum wanita Muslimah lebih banyak dari kaum
laki-lakinya.
d. Sebagai upaya syadz-adz-dzari’ah (mencegah kerusakan), untuk menjaga keimanan calon
suami/isteri dan anak-anak yang akan dilahirkan.
Bahkan, sekalipun seorang laki-laki
Muslim boleh menikahi wanita Ahlul Kitab menurut sebagian ulama sebagaimana
kami katakan, namun dalam kasus yang saudara sebutkan di atas, kami tetap tidak
menganjurkan perkawinan tersebut karena syarat wanita Ahlul Kitab yang disebut
dalam surat al-Maidah ayat 5 yang dijadikan oleh mereka yang membolehkan
perkawinan tersebut tidak terpenuhi, yaitu syarat al-ihshan (الإِحْصَانُ), yang artinya wanita Ahlul Kitab tersebut haruslah wanita
baik-baik yang menjaga kehormatan, bukan pezina. Perhatikan firman Allah dalam
surat al-Maidah ayat 5:
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al-kitab itu halal bagimu, dan makanan
kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga
kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-kitab sebelum kamu, bila kamu
telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir
sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan
ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.” [QS. al-Maidah(5): 5]
Dan perlu diketahui, negara kita tidak
mengakui perkawinan beda agama, karena menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974
tentang perkawinan pasal 2 ayat 1 dinyatakan: "Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu." Ini artinya, negara kita tidak
mewadahi dan tidak mengakui perkawinan beda agama (meskipun pengantin laki-laki
beragama Islam). Oleh karena itu, sebagaimana kata saudara, perkawinan tersebut
tidak bisa dilakukan dan didaftarkan secara Islam, yaitu di KUA. Dan yang dapat
dilakukan hanyalah mencatatkan perkawinan tersebut di Catatan Sipil,
sebagaimana penduduk non Muslim lainnya mencatatkan perkawinan mereka di sana.
Perlu ditekankan di sini, pihak
laki-laki Muslim tersebut seharusnya tidak merasa terpojokkan sehingga "HARUS"
menikahi wanita Katolik itu sebagaimana yang saudara katakan. Perzinaan itu
bisa saja terjadi karena atas dasar suka sama suka sehingga menurut hukum
positif tidak bisa dipidanakan. Dengan demikian, upaya agar menikahkan mereka
berdua dengan cara Islami, yaitu masuk Islam dahulu lalu menikah di KUA, harus
terus dilakukan semaksimal mungkin.
2. Mengenai status anak mereka berdua jika ia lahir dapat kami
jelaskan sebagai berikut: Jika keduanya tidak jadi menikah maka anak tersebut
dinasabkan kepada ibunya. Ini karena anak tersebut
hasil perzinaan dan lahir di luar perkawinan yang sah. Dan perzinaan itu tidak
menimbulkan dampak penetapan nasab anak tersebut (kepada laki-laki yang berzina denganibunya), menurut kesepakatan jumhur (mayoritas) ulama. Alasannya, nasab
itu adalah kenikmatan yang dikurniakan oleh Allah. Dengan
ditetapkannya nasab itu seorang ayah wajib menafkahi, mendidik, menjadi wali
nikah, mewariskan dan lainnya. Oleh karena nasab itu adalah kenikmatan, maka ia
tidak boleh didapatkan dengan sesuatu yang diharamkan. Dalil yang mendasari hal tersebut adalah hadis berikut:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اْلوَلَدُ
لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ اْلحَجَرُ. [رواه البخاري ومسلم]
Artinya: “Rasulullah SAW bersabda:
"Anak itu dinasabkan kepada yang memiliki tempat tidur (laki-laki yang
menikahi ibunya), dan bagi yang melakukan perzinaan (hukuman) batu (rajam
sampai mati)".” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Hadis ini menunjukkan bahwa hanya anak
yang lahir dari perkawinan sah saja yang dinasabkan kepada ayahnya yang
mempunyai tempat tidur (maksudnya, yang menikahi ibunya).Manakala zina itu
tidak layak untuk dijadikan sebab menetapkan nasab, bahkan pezina itu harus
mendapatkan hukuman rajam.
Pendapat yang menasabkan anak hasil
zina kepada ibunya ini juga selaras dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 100 yang berbunyi:
"Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan
ibunya dan keluarga ibunya".
Jika keduanya menikah setelah wanita
tersebut masuk Islam, maka jika anak tersebut lahirsetelah 6 (enam) bulan
dari pernikahan, maka anak tersebut dinasabkan kepada si laki-laki Muslim di
atas. Alasannya ialah, tempo kehamilan itu minimalnya adalah enam bulan menurut
kesepakatan para ulama. Dan setelah itu, laki-laki Muslim tersebut bertanggung
jawab atas segala sesuatu yang berkenaan dengan anaknya itu seperti nafkah,
pendidikan, kesehatan, perwalian, pewarisan dan lainnya sama persis dengan anak
hasil pernikahan yang sah. Namun jika anak hasil zina tersebut lahir sebelum 6 (enam)
bulan dari pernikahan, maka anak tersebut dinasabkan kepada ibunya. Dan
laki-laki Muslim tersebut tetap bertanggung jawab atas nafkah, pendidikan dan
kesehatannya, karena ia adalah anak istrinya. Tapi dari segi perwalian dan
pewarisan, laki-laki Muslim itu tidak berhak menjadi wali anak tersebut dan
tidak waris-mewarisi dengannya. Ini menurut para ulama fiqih.
Namun perlu diketengahkan di sini
bahwa menurut KHI, anak hasil zina yang lahir sebelum enam bulan tersebut dapat
dinasabkan kepada si laki-laki Muslim di atas karena anak yang sah menurut KHI
pasal 99 adalah: a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
b. Hasil perbuatan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri
tersebut. Besar kemungkinan KHI menetapkan demikian demi kemaslahatan anak tersebut.
3. Mengenai tindakan orang tua laki-laki Muslim di atas sebaiknya
tetap berusaha untuk menikahkan keduanya dengan cara Islam, yaitu di KUA.
4. Mengenai sikap saudara terutama dalam menghadiri pesta
perkawinan jika proses perkawinan seperti yang dikehendaki keluarga wanita
Katolik itu terjadi, saudara boleh menghadirinya jika diundang.
Wallahu a'lam bish-shawab
0 komentar:
Posting Komentar